KULA LUMPUR, KOMPAS. com - Belum juga ada cerita
indah sepak bola Indonesia. Untuk kesekian kalinya, tim "Garuda" gagal
di Piala AFF. Pada laga terakhir dan menentukan lawan Malaysia, Sabtu
(1/12/2012), Indonesia dipukul musuh bebuyutannya, Malaysia, dengan skor
0-2. Hasil yang memulangkan Indonesia.
Harapan ratusan juta
rakyat agar timnas Indonesia bisa berprestasi di ajang AFF 2012, kembali
lenyap, seolah ikut ditelan air hujan yang mengguyur Stadion Bukit
Jalil, Malaysia. Timnas yang hanya butuh hasil imbang untuk memastikan
tiket semifinal, justru kalah.
Mahali Jasuli menjadi aktor utama kemenangan Malaysia. Bek yang baru berusia 23 tahun itu melepaskan crossing
terukur kepada Azamuddin Akil di kotak penalti yang kemudian disambar
tembakan voli mendatar yang gagal ditepis kiper Wahyu Tri Nugroho.
Berselang empat menit kemudian, Mahali berhasil menaklukkan Wahyu lewat
sepakan keras dari sudut sempit.
Irfan Bachdim dan kawan-kawan
berusaha bangkit tetapi akhirnya gagal. Lagi-lagi, Malaysia yang
mengubur impian kita sebagaimana yang terjadi di final Piala AFF 2010
dan SEA Games 2011.
Meski begitu, tidak elok
jika para pemain, pelatih, dan stafnya dipersalahkan karena kegagalan
ini. Justru sebaliknya, mereka pantas diacungi jempol karena sudah
menunjukkan permainan terbaik dan usaha maksimal.
Apalagi, ini
pertama kalinya timnas Indonesia tampil di ajang internasional dengan
kondisi penuh masalah. Herannya, yang bermasalah justru para pengurus
yang terlibat dalam perselisihan antara Persatuan Sepak Bola Seluruh
Indonesia (PSSI) dan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI).
Imbas konflik dua lembaga yang sama-sama mengaku berhak mengurus sepak
bola itu, jelas ke mana-mana. Dari menurunnya dukungan publik, hingga
persiapan tim yang terkesan berantakan karena dibangun di atas
"konflik".
Masih lekat di ingatan, pelatih Nilmaizar dipusingkan
memanggil pemain terbaik yang ada di Tanah Air ini karena larangan
mayoritas klub Indonesia Super League (ISL) melepas pemainnya. Belum
lagi, beberapa pemain memutuskan meninggalkan pelatnas di tengah-tengah
pelatnas serta kacau-balaunya PSSI dalam membentuk jadwal uji coba.
Nilmaizar
pun sadar betul bahwa proses juara untuk sebuah tim dibutuhkan suasana
kondusif. "Proses untuk juara adalah kondisi tim harus bagus, cara
melatih harus bagus, penjagaan kondisi pemain harus bagus, istirahat,
gizi, dan sebagainya itu harus bagus. Jadi hasilnya baru akan bagus.
Tapi, saat ini kita bermimpi juara, tetapi latihan saja pemain tidak
pernah lengkap, lalu kondisi tim tidak kondusif (karena konflik)," beber
Nilmaizar dalam wawancara dengan Kompas.com beberapa waktu lalu.
Nilmaizar
tak menyerah. Mantan pelatih Semen Padang tersebut itu tetap berusaha
keras sekuat tenaga membentuk timnas yang tangguh, sekalipun diisi
pemain-pemain yang minim jam terbang internasional. Para pemain berusaha
tetap profesional dan tak terpengaruh oleh konflik dan intrik di
tingkat kepengurusan.
Timnas dengan semangat juang tinggi
berusaha tampil maksimal dalam setiap pertandingan. Sejarah pun sempat
dibukukan takkala menaklukkan Singapura 1-0 yang menjadi kemenangan
perdana Indonesia atas Singapura dalam 14 tahun terakhir. Ya, itu
menjadi kemenangan terakhir karena timnas akhirnya takluk dari Malaysia
pada partai penentuan.
Tak bisa dipungkiri, penampilan Indonesia
jauh dari kata memuaskan. Tapi, sikap ksatria Nilmaizar menyikapi
kegagalan ini patut dicontoh oleh pihak yang bertikai.
"Inilah
sepak bola. Saya tidak ingin menyalahkan siapa-siapa tentang kekalahan
ini. Saya yang akan tanggung jawab. Yang terpenting saya selama delapan
bulan cukup bagus bisa melatih tim ini. Buat saya, anak-anak sudah
tampil maksimal dengan potensinya masing-masing. Sudah berjuang sampai
menit-menit terakhir. Tapi, itulah sepak bola. Mudah-mudahan dengan
potensi yang ada sekarang, ke depannya bisa segera baik," kata
Nilmaizar.
Hasil ini seharusnya menjadi momentum bagi pihak yang bertikai
berdamai untuk meletakkan segala kepentingan kelompok atau politis, demi
sepak bola nasional. Sudah saatnya bersatu untuk fokus membentuk
pembinaan usia muda dan menciptakan kompetisi yang bersih karena
sejatinya mustahil prestasi diciptakan dengan cara instan.
Wejangan
dari Pelatih Real Madrid, Jose Mourinho, mungkin perlu direnungkan oleh
kedua belah pihak yang bertikai. "Sisi negatif sepak bola adalah sisi
negatif masyarakatnya. Orang per orang membawa masuk pengaruh
negatifnya ke dalam sepak bola."
Sebenarnya teorinya sederhana.
Mempertahankan pertikaian jelas akan menghancurkan sepak bola. Lalu,
kenapa masih terus bertikai? Untuk siapa pertikaian itu? Untuk sepak
bolakah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
NO rasis dan sara